Berpijak pada definisi PHOTOS – GRAPHOS yang berarti MELUKIS DENGAN CAHAYA, terbentanglah sejarah Fotografi. CAHAYA adalah jiwa fotografi yang melahirkan rekaman benda dan peristiwa menjadi sebuah imaji. CAHAYA menjadi inti fenomena alam hingga terbentuknya jagat raya. Emosi dan subyektifitas manusia yang disebut IMAJINASI memerintahkan mata sebagai alat optik ciptaan Tuhan merekam peristiwa menjadi bagian dari memori hidup yang tersimpan dalam otak. Dan untuk memvisualkan kerja IMAJINASI ini lahirlah KAMERA.
Kini, maraknya pertumbuhan teknologi digital menebalkan demokratisasi kebebasan berekspresi tak terbendung. Selain mempercepat proses kerja, imaji yang tak mungkin divisualkan teknologi lama bisa terwujud. Lahirlah para pemain baru yang cenderung melihat perubahan teknologi sebagai sebuah ‘revolusi’ hingga me’nafi’kan teknologi masa lalu yang menjadi dasar teknologi masa kini.
IMAJINASI manusia tentang pendokumentasian sesungguhnya tidak berubah. Pencapaian teknologi ALAT sesungguhnya hanya perjalanan kecerdasan merancang alat bantu yang mampu mempercepat kerja dan tujuan. Namun teknologi akhirnya mengkamuflasekan cita-cita manusia. Maka fakta sejarah menunjukkan berkembangnya kecerdasan manusia sekaligus juga menerangkan dampak negatif yang ditimbulkan karena ketidaktahuan sekaligus keangkuhannya. Hal ini kadang menggiring pelaku kreatif melupakan ‘dasar pemahaman’ dan ‘proses’ yang sebenarnya bagian terpenting dari sebuah karya. Sesungguhnyalah, hasil akhir hanyalah sebuah upacara, karena akan tergantikan oleh yang lebih baru.
Revolusi pun cenderung menggiring kebudayaan menjadi seragam. Padahal Indonesia bangsa kaya budaya yang bisa dimunculkan ditengah arus globalisasi. Karena yang akan menguasai pasar dan muncul menjadi pemenang adalah mereka yang melek digital tapi punya dasar yang kokoh, unik, berbeda, dan berkepribadian.
Dulu, manakala manusia belum mampu membuat kamera, segala peristiwa dan visual disebarluaskan melalui bahasa tutur, kemudian dituangkan melalui coretan simbol, sketsa, atau lukisan sebagai peringatan atau propaganda. Maka semestinyalah sejarah lahirnya fotografi yang sejalan dengan cikal bakal lahirnya manusia, mendudukkan fotografi sebagai bidang ilmu yang sangat luas.
Aku tidak anti digital tapi punya pandangan untuk pendidikan ‘sebaiknya mengetahui sesuatu dari dasarnya dulu’, pada September 2001 menerbitkan buku “MEMOTRET dengan KAMERA LUBANG JARUM” keluaran Puspaswara. Selanjutnya setelah gelar workshop tour di Jawa, Bali, hingga Makassar, diproklamirkanlah KLJI (KOMUNITAS LUBANG JARUM INDONESIA) pada 17 Agustus 2002. Karena sadar bahwa KLJ (KAMERA LUBANG JARUM) bukan alat yang sempurna, tapi kendaraan untuk menuju sempurna, maka para pemain KLJ tidak perlu terlalu mempermasalahkan ‘teknik’ tapi mencoba menularkan ‘rasa yang mendalam’ dengan menggunakan kata kunci ‘secukupnya’ dan ‘gagal itu seru’.
Setelah berbagai pameran dan workshop digelar, lahirlah KLJI daerah di lebih 40 kota Indonesia. Lahir pula kreator dan belasan Sarjana Lubang Jarum di berbagai Universitas. Luarbiasanya ilmu Lubang Jarum pun jadi mata pelajaran.
Yang menarik pada Ultah KLJI ke-10, pada 18-28 Oktober 2012 digelar ARTERNATIVE PHOTOFEST 2 di acara FESTIVAL KOTA RAJA, Tenggarong, Kalimantan Timur. Berbagai eksperimen fotografi dipamerkan termasuk karya Solargraphy Hafidh Ardhian (KLJI Malang), yang mendokumentasikan sebuah rumah di Singosari Malang selama 90 hari pada tahun 2009. Inilah awal lahirnya karya Solargraphy di KLJI. Maka kegiatan kali ini bisa disebut ‘Retrospeksi’ 21 tahun KLJI membuka pergulatan pemikiran tentang ENERGI KREATIF.
Selamat kepada para pegiat seni fotografi lubang jarum yang mampu menggabungkan teknologi digital dan analog dalam kebersamaan.
Maju terus dan #salam5jari
(Ray Bachtiar Dradjat)