Di kota Bandung, pada tanggal 15 Februari 1924 didirikan sebuah klub foto yang bernama Preanger Amateur Fotograafen Vereeniging (PAF). Nama Preanger sangat mungkin diambil dari istilah Priangan atau dapat juga dari nama salah satu hotel tertua di Hindia-Belanda, Hotel Preanger tempat klub foto ini pertama kali didirikan dan selama beberapa dasawarsa selanjutnya dijadikan tempat pertemuan-pertemuan bulanan yang dilakukan pada hari Rabu ke tiga setiap bulannya. Dimana tradisi ini menjadi “ritual” penting yang terus menerus tidak pernah putus dilakukan sampai sekarang. Saat ini PAF adalah klub fotografi amatir tertua di Indonesia yang masih eksis sampai sekarang, dengan tingkat aktifitas yang tinggi dan regenerasi yang berjalan terus menerus.
Pendirian PAF ini diprakarsai oleh beberapa tokoh kenamaan Bandung dan Guru Besar dari Technische Hogeschool (TH) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), diantaranya Prof. C.P. Wolff Schoemaker bersaudara dan Prof. Schermerhorn. Meneer Schoemaker seorang arsitek kenamaan di Hindia-Belanda pada awal abad ke-19. Warisan arsitektur yang ditinggalkan-nya dengan gaya “artdeco” banyak menghiasi Kota Bandung, Villa Isola (sekarang Rektorat Universitas Pendidikan Indonesia), Gedung Sociteit Concordia (sekarang Gedung Merdeka), Grand Hotel Preanger, Gebeo Gebouw (sekarang gedung PLN), De Grote Kerk (sekarang GPIB Bethel, di Jalan Wastukencana), De Kathedral Santo Petrus, Sterrenwacht Bosscha (lebih dikenal Observatorium Peneropongan Bintang Bosscha) di Lembang, Mesjid Raya Cipaganti serta beberapa gedung lainnya di kota Bandung. Bagi PAF sendiri beliau meninggalkan jejak sejarah dalam bentuk Logo PAF yang berbentuk segi tiga dengan seekor burung elang yang merentangkan sayap yang bertengger di atas lensa kamera studio (viewcamera).
Dasawarsa 1950 pasca-kemerdekaan Indonesia, warga Belanda banyak yang meninggalkan Indonesia untuk kembali negaranya, begitu juga dengan segala aset-aset yang awalnya dimiliki oleh Belanda pada tahun-tahun ini di-nasionalisasi. PAF setelah tiga puluh tahun berada dalam tampuk pimpinan bangsa asing (Belanda) akhirnya pada tahun 1954, PAF kembali diserahkan kepada para anggotanya yang berkewarganegaraan Indonesia. Dapat dikatakan di dekade ini adalah awal kebangkitan PAF setelah sekian puluh taun didera angin Perang Dunia II. Di tahun yang sama Logo PAF yang semula garapan Meneer Belanda akhirnya digantikan dengan yang baru. Logo yang baru diciptakan oleh Alm. R.M. Hartoko, beliau adalah adik dari Alm. Prof.Dr.R.M. Soelarko (PAF 151). Dalam logo yang baru, nama PAF yang menggunakan bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Indonesia dengan tetap memakai kata-kata “PAF”, yaitu PERHIMPUNAN AMATIR FOTO.
Falsafah yang terkandung dalam logo PAF yang masih digunakan hingga sekarang adalah “Segilima menunjukan bahwa Perhimpunan Amatir Foto (PAF) bersendikan Pancasila. Lingkaran menunjukkan keabadian (Eternal) dalam Kemurnian. Sekeliling tulisan PAF adalah diafragma yang melambangkan kerja sama antara seluruh anggota dan Lensa adalah symbol fotografi dimana kita menangkap kemurnian dengan lensa. PAF yang secara bahu membahu untuk mencapai cita-citanya.”
PAF adalah wadah para penggemar fotografi untuk berkumpul, beraksi, dan berkreasi. Hasil karya anggota PAF banyak diapresiasi bahkan menjadi koleksi Dokumen Nasional. Salah satu foto bersejarah adalah foto Tentara Nasional Indonesia yang gugur pada peristiwa APRA tahun 1950 oleh aksi brutal Kapten Westerling di Bandung, diabadikan oleh Nyoo Swie Gwan, atau Konferensi AsiaAfrika pada tahun 1955 di Gedung Merdeka yang didokumentasi oleh Tim Fotografer dari PAF (Paul Tedjasuja, Dr. Ganda Kodyat, Lano Utomo, Tjia Ban Hok, Wahab Masli, dan Kwee Hap Goan).
Sumber : Toni Kusnandar pegiata Rekam Matahari 2023