Ide awal Fotografi atau Photos Graphos yang artinya Melukis dengan Cahaya muncul pada zaman pra sejarah. Selanjutnya Mozi, seorang filsuf China yang hidup pada masa Dinasti Han sekitar 4 abad SM menuliskan konsep kamera Obscura untuk memahami prinsip optik. Sumber lainnya juga menyebutkan sebelumnya hal ini telah ditulis oleh filsuf Yunani, Aristoteles.

Yang menarik istilah Kamera berasal dari bahasa Arab, Gamara. Hal ini mempertegas bahwa prinsip dan cara kerja kamera ditemukan ilmuwan muslim Abu Ali Al-Hasan Ibn Al- Haitsam atau Alhazen abad ke-10 M.

Baru pada tahun 1544 lahirlah wujud Camera Obscura yang dipatenkan ahli fisika dan matematika dari Belanda, Reinerus Gemma Frisius. Namun baru tahun 1827, Joseph Niepce, yang berhasil melahirkan Foto pertama. Pengambilan gambarnya memerlukan waktu 8 jam. Kemudian Niepce berkolaborasi dengan Louis Daguerre. Dan tahun 1829 berhasil mengembangkan proses pembuatan foto permanen Daguerreotype.

Selanjutnya, muncul beragam kamera analog berbagai merk dan film. Tahun 1975 seorang insinyur Kodak, Steven Sasson, berhasil merancang kamera digital pertama. Namun butuh 23 detik untuk sebuah pemotretan dan hanya mampu menghasilkan gambar hitam putih.
Tahun 1995, saat teknologi digital mulai boming dan aku sudah menggunakan kamera digital karena tuntutan pekerjaan sebagai profesional fotografer, aku dilanda resah. Bukannya anti-digital. Tapi Imajinasiku ditempa kekhawatiran kehilangan proses kreatif rekam objek analog yang alami. Sejak itulah mulai mencoba menelusuri proses kreatif “Melukis dengan Cahaya”.

Berawal sukses memotret pagar depan rumah menggunakan Kamera Lubang Jarum (KLJ) kaleng susu 800gram dengan negatif kertas Chen Fu tahun 1997, maka bulan Agustus 2001 digelarlah workshop perdana KLJ di lokasi pembuangan sampah Bantar Gebang dengan asisten instruktur Loepy Effendy, didukung Galeri i-see dan disponsori Kedutaan Belanda. Puncaknya, September 2001, dibantu almarhum Jasmani dan mas Budi Rahardjo, lahirlah buku “Memotret dengan Kamera Lubang Jarum” terbitan Puspaswara.

Sesungguhnyalah KLJ menawarkan pemanjaan idealisme yang luarbiasa. Sangat pantas jika KLJ digunakan sebagai kendaraan pendidikan dan seni. Mungkin hal itu yang menggelitik sehingga KLJ bagaikan virus. Terbukti saat mengikuti “Gigir Manuk Multicultural Art Camp” bulan september 2002, Aku dan Aryo diterima para seniman Bali, malah sempat membuat karya kolaborasi bersama seniman lukis, tekstil, dan teater.

Tekad mensosialisasikan “seni proses” pun semakin menggebu. Karena KLJ mengajak kita berada dalam ruang yang cukup luas untuk olah pikir, olah rasa, bahkan olah fisik. Munculah moto “Gagal Itu Seru” yang menjadi konsep workshop tour Jawa, Bali dan Makassar. Puncaknya, pada 17 Agustus 2002, dikumandangkanlah proklamasi berdirinya Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI).

Bagi Indonesia yang kaya bahan baku dan orang kreatif, membangkitkan kembali proses salt print, albumen print, cyanotype dan banyak lagi, bukan masalah besar. Terbukti keterbatasan alat dan bahan yang selama ini menghantui, berubah jadi kelebihan bahkan malah jadi khas daerah. Sebagai misal, karena di Jogja kaleng rokok mudah didapat, maka lahirlah KLJ kaleng rokok. Karena di Malang kaleng susah didapat, lahirlah KLJ pralon dan KLJ kotak tripleks. Di Jakarta lahir KLJ “pocket” dalam arti sebenarnya, bisa dimasukkan ke dalam saku karena terbuat dari plastik tempat selongsong film. Awal 2010, KLJI Bandung bangkit dengan berbagai inovasi kamera rakitan dari karton. Semakin melekatlah motto “Membuat Bukan Membeli” karena KLJ mengajarkan kita menata limbah dan puing dunia menjadi lebih berarti,

Untuk menghargai sejarah, tahun 2007 KLJI memberi penghargaan kepada tokoh Fotografi Indonesia, om Don Hasman. Tahun 2009 kepada kang Dayat Ratman, tokoh fotografi hitam putih dari Bandung yang membantu lahirnya KLJ. Luarbiasanya pada 7 Desember 2010, Newseum Indonesia memberikan “Anugerah Tirto Adhi Soerjo” kepada KLJI sebagai penghargaan jurnalistik untuk kategori communiNATION. Sekali lagi kebersamaan dan proses yang digarisbawahi. Juga karena aktivis KLJI bukan merindukan masa lalu tapi secara kolektif mencoba dan berusaha mengeksplorasi masalah logika fotografi.

Sementara itu KLJI daerah terus tumbuh lebih di 40 kota, bahkan ISI Jogja sudah memasukan KLJ sebagai bahan ajar di kurikulumnya. Berita serunya hingga saat ini KLJI sudah melahirkan sebelas Sarjana S1, dan dua S2 dengan nilai “Sangat Memuaskan”.
Sayangnya saat menjelang KLJI berumur 21 tahun, teknologi kamera digital yang diterapkan dalam perangkat elektronik, seperti smartphone, laptop, dan lainnya mulai memengaruhi. Efek utamanya harga kertas foto jadi melangit dan jadi penghalang cukup serius kelangsungan KLJI.v

Maka munculnya proyek kolaborasi #RekamMatahari seakan membuat popularitas KLJI lahir kembali. Bahkan mungkin bisa mencuri kembali waktu 100 tahun proses penemuan yang “hilang” di dunia fotografi Indonesia. Yang menarik, program #RekamMatahari erat kaitannya dengan kisah utama ide awal Fotografi. Melukis dengan Cahaya.

Jadi teringat karya Solargraphy sobat KLJI Malang, Hafidh Ardhian, yang pada 18-28 Oktober 2012 jadi pameris ARTernatif FOTOfest 2 KLJI, Festival Kota Raja, Tenggarong, Kalimantan Timur. Saat itu karyanya dibuat menggunakan kertas fim 4R yang dimasukan kedalam tabung plastik bekas tempat rol film dan diletakkan di rumah kerabatnya di area Singosari, Malang, selama 90 Hari.

Solargraphy Karya Hafidh Ardhian - Rumah di Singosari Malang - negative

Semoga kolaborasi #RekamMatahari yang membuka pergulatan pemikiran tentang energi kreatif ini mampu membangunkan Kembali semangat kolaborasi komunitas yang sempat tersendat.

Selamat kepada para senior KLJI yang menjadi panitia #RekamMatahari yang mampu menggabungkan teknologi digital dan analog dalam kebersamaan.
Maju terus dan #salam5jari


Ray Bachtiar Dradjat